Rabu, 15 Juli 2009

DEMOKRATISASI PENDIDIKAN

DEMOKRATISASI PENDIDIKAN

By Ramahadin Damanik

Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.

Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat memimpin (capable). Untuk jangka panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewujudkan masyarakat madani.

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN ISTILAH MASYARAKAT MADANI

Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani.

Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senada dengan pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan, masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai.

Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, "sampai sejauh mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi pendidikan?. Seligman seperti yang dikutip Mun’im (1994: 6) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni.

Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah. Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud manakala terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan.

Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.

B. PERKEMBANGAN ISTILAH MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA

Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999: 15-16). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta.

Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini menurut Madjid seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab.

Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi (1999:67) bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam.

Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, civil society. Istilah civil society sudah ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan

Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.

Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999: 16), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999: 4).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik.

C. UPAYA MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI

Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Suryadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.

Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi (Suryadi, 1999: 23).

Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan (Hartono, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut, Marzuki (1999: 50) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan berskala nasional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem pendidikan berskala lokal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di kelas, demokrasi pendidikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keberadaban, sebab menurut Zamroni (1997: 1) hal ini merupakan inti dari proses pendidikan.

KESIMPULAN

Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologis, masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Secara epistemologis, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Daliman, A. 1999. Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.

Farkan, H. 1999. Piagam Medinah dan Idealisme Masyarakat Madani. Bernas, 29 Maret.

Gellner, E. 1995. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan (Terjemahan Hasan, I) Bandung: Mizan.

Hartono. 1999. Perubahan Orientasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2..

Hikam, M.A.S. 1994. Demokrasi adakan Wacana Civil Society. Republika. 10 Oktober.

Madjis, N. 1977. Dinamika Budaya Pesisir dan Pedalaman: Menumbuhkan Masyarakat Madani, dalam HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan Menghadapi Pergantian Zaman. Jakarta: Majelis Nasional KAHMI.

Pendidikan Profetik Oleh Ramahadin Damanik

Pendidikan Profetik
March 31, 2008, 11:52 pm
Filed under: Uncategorized

‘Pendidikan Profetik’. Dari akar katanya dapat diartikan profetik = prophetic = kenabian , jelas sekali terkandung nilai filosofis yang dalam dengan pendidikan kenabian ini. Jadi, aspek intelektualitas saja tidak cukup bagi para pelaku pendidikan, tetapi juga harus didukung dengan sisi religius kenabian yang sarat dengan akhlaq mulia dan budi pekerti yang luhur.

Selama ini kita memang mendambakan pendidikan yang lebih profetik. Fenomena dunia pendidikan nasional belakangan ini adakalanya menggembirakan sekaligus mencemaskan. Menggembirakan, karena banyak upaya serta program pengembangan sekolah yang lebih terukur kualitas dan kemajuannya, maka lahirlah sekolah-sekolah unggulan. Mencemaskan, sebab dunia pendidikan sebagai gerbang pencerahan anak-anak bangsa, kini dihantui oleh banyak konflik horisontal di masyarakat, tawuran antarpelajar, narkoba di kalangan remaja. Pendidikan profetik, barangkali dapat menjadi harapan di masa depan. Sebuah proses pembelajaran yang meneguhkan arti pentingnya pencerahan mental spiritual semua stakeholder pendidikan, sehingga martabat dan hati nurani manusia benar-benar dihargai maknanya.

Pendidikan Profentik sebenarnya telah banyak dijadikan ide oleh para tokoh pendidikan untuk menjadikan sistem pendidikan dinegeri kita ini menjadi makin bagus seperti pemikiran dari Kuntowijoyo, beliau adalah ilmuwan sosial Muslim yang pertama kali mengetengahkan perlunya "ilmu sosial profetik" (ISP). Dalam pemikiran beliau pendidikan profentik dibagi menjadi dua hal pokok.

Pertama, transformasi sosial dan perubahan. Sebagaimana dikemukakan oleh M Dawam Raharjo dalam kata pengantarnya untuk buku Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, ISP yang ditawarkan Kuntowijoyo merupakan alternatif terhadap kondisi status quo teori-teori sosial positivis yang kuat pengaruhnya di kalangan intelektual dan akademisi di Indonesia. ISP tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial. Tetapi juga memberikan interpretasi, mengarahkan, serta membawa perubahan bagi pencapaian nilai-nilai yang dianut oleh kaum Muslim sesuai petunjuk Al Quran, yakni emansipasi atau humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Kedua, menjadikan Al Quran sebagai paradigma. Yang dimaksud paradigma oleh Kuntowijoyo dalam konteks ini adalah sebagaimana dipahami Thomas Kuhn, yakni bahwa realitas sosial dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Dengan mengikuti pengertian ini, paradigma Al Quran bagi Kunto adalah "konstruksi pengetahuan" yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana dimaksud oleh Al Quran itu sendiri. Ini artinya, Al Quran mengonstruksi pengetahuan yang memberikan dasar bagi kita untuk bertindak. Konstruksi ini memungkinkan kita untuk mendesain sistem, termasuk di dalamnya sistem pengetahuan (M Syafii Anwar: 1997).

Didalam pendidikan profetik ada sisi memungkinkan bagi pemikiran tentang kenabian itu bisa digunakan dalam melihat realitas. Tentu saja, hal ini meniadakan prinsip ilmu sosial yang bebas nilai. Ilmu sosial dengan paradigma profetis harus melakukan pembebasan seperti apa yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Jika kita perhatikan, sejarah Nabi-nabi itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana cara kerja pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat. Mereka tetap berangkat dari substansi ajaran agama (transedensi) yang itu harus “diaktivasi” dalam realitas kesejarahan manusia.

Adatiga unsur yang menjadi bagian dari kerangka kerja ilmiah dalam memahami realitas, yaitu liberasi, emansipasi, dan transendensi. Ketiga unsur itu harus digerakkan dalam aktivisme sejarah. Tapi, gagasan mengenai sosiologi profetik yang akan dikaji dalam tulisan ini baru beranjak dari upaya mengembangkan ilmu sosiologi yang multi-disiplin, tidak menafikan adanya kepentingan “nilai” (prophetic as a value), dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan sosial. Gagasan sosiologi profetik tidak cukup hanya dengan kontribusi tulisan ini saja, perlu perluasan wacana di masa mendatang.

Jadi dapat disimpulkan dalam pendidikan profetik ini sistem pendidikan tidak hanya untuk mengejar tingginya intelektual saja tetapi sisi religius juga menjadi aspek penting sehingga masa depan agama dan bangsa Indonesia yang kini sedang tertatih sekarang ini bisa cepat keluar dari krisis. Tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis pengetahuan yang rasional obyektif. Terlebih bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang mana UNY terkenal telah mencetak banyak tenaga pendidik sehingga diharapkan dengan pendidikan profetik ini selain dapat memajukan IPTEK juga mampu meningkatkan IMTAQ dari pendidik maupun dari peserta didik.

PENDIDIKAN HUMANIS TEOSENTRIS

PENDIDIKAN HUMANIS TEOSENTRIS

Oleh : Ramahadin Damanik

Arus globalisasi yang melanda negara – negara berkembang khususnya Indonesia memilki dampak negatif yang sangat signifikan, baik dampak politik, ekonomi, budaya, pendidikan maupun religi di setiap individu manusia. Materialisme merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang dibawa oleh globalisasi telah merubah pola pikir umat manusia kepada dunia materialistik, sehingga dalam materialistik ini meniscayakan terjadinya sekularisasi dalam kehidupan bahkan meninggalkan agama, seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx bahwa agama adalah candu. Pendidikan merupakan instrument utama dalam pembentukan kepribadian seorang manusia, sehingga tanpa kita sadari bahwa pendidikan yang terjadi selama ini khususnya di Indonesia mengalami kesalahan sejarah, karena telah tertanam dalam benak manusia Indonesia bahwa pendidikan sebagai pabriknya robot – robot yang siap dipakai dan di gunakan oleh perusahaan tertentu. Dari fenomena diatas, maka muncullah pertanyaan , Pendidikan seperti apa yang mampu mempersiapkan manusia untuk hidup didunia dan akhirat ? karena dalam konsep islam ada kehidupan setelah ini yang kekal. Kuntowijoyo seorang budayawan dengan ilmu sosial profetiknya menjelaskan bahwa “Humanisasi yang dimaksudkan dalam etika profetik bukanlah humanisme yang berakar pada antroposentrisme renaissance tetapi berakar pada humanisme teosentris, humanisasi ini lahir karena humanisme antroposentrisme justru telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi, humanisme dalam etika profetik adalah humanisme yang disemangati oleh nilai – nilai ketuhanan” Berangkat dari teori inilah konsep pendidikan humanis Teosentris di rumuskan, yang mana dijelaskan bahwa humanis teosentris adalah suatu proses memanusiakan manusia dengan disemangati oleh nilai – nilai ke Tuhanan yang bersifat transendental atau imanent, supaya terjadi keseimbangan antara aspek rohani dan aspek jasad. Dalam pendidikan humanis teosentris seorang pendidik harus mengetahui tentang hakikat manusia, supaya dalam melakukan proses pembelajaran seorang pendidik tidak terjebak dalam wilayah materialisme. Perdebatan tentang konsep kemanusiaan sangat banyak, setidaknya ada bebepa konsep tentang manusia, diantaranya adalah konsep materaialistime yang berpendapat bahwa manusia hanya memilki satu unsur yakni jasad, sehingga akal manusia bersifat materi yaitu otak kepala manusia. Dan juga konsep intelektualisme mengakui bahwa manusia memilki dua unsur yaitu jasad dan ruh akan tetapi dalam hal ini ruh diberi pengertian hanya daya berpikir, adapun konsep menurut pendidikan islam adalah jasad,ruh,hati nurani harus sama – sama dididik sehingga akan adanya kemajuan fisik dan ruhani.yang berupa daya pikir dan hati nurani sebagai daya rasa. Dan yang selanjutnya adalah seorang guru harus mampu memposisikan peserta didik sebagai subyek dari pendidikan dan begitu juga guru, jadi guru tidak lagi menjadi fasilitator, sehingga proses pendidikan merupakan kesatuan dari proses humanisasi, liberasi yang mana menghidupkan aktifitas belajar dan mengajar secara bersama – sama dan juga obyek dari belajar adalah realitas yang terjadi. Selain itu juga, Unsur transendensi juga harus terpenuhi dalam jiwa pendidik dan juga peserta didik, yang mana maksudnya adalah Transendensi disini maksudnya adalah Transendensi dijadikan sebagai landasan terhadap dua etika profetik sebelumnya sehingga funsi transendensi adalah mengarahkan kemana tujuan itu akan dibawa. Oleh karena itu, Pendidikan Humanis Teosentris merupakan suatu usaha bagaimana pendidikan itu mampu melakukan misi profetik, sehingga pendidikan tidak lagi menjadi penjara atau belenggu bagi pikiran para manusia. amien

TRANFORMASI PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

TRANFORMASI PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

Oleh : Ramahadin Damanik

Datangnya tahun ajaran baru selalu menyita perhatian dan merepotkan segenap bangsa. Persoalan pendidikan nasional (diknas) semakin rumit dan menjadi lingkaran setan. Usaha untuk meningkatkan mutu diknas sering kandas karena terkendala oleh ekonomi biaya tinggi di lembaga pendidikan

Di mata rakyat perangai lembaga pendidikan semakin kapitalistik dan kejam. Angin surga sekolah gratis yang ditiupkan oleh politisi semakin bikin muak rakyat. Faktanya, berbagai pungutan wajib yang irasional semakin marak di tahun ajaran baru. Mestinya berbagai pungutan itu disikat habis. Yang lebih memprihatinkan lagi langkah pemerintah untuk membenahi diknas belum transformatif dan progresif sesuai dengan kemajuan jaman. Padahal, fenomena globalisasi yang ditandai oleh kekuatan konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mestinya dijadikan faktor mendasar untuk mentransformasikan diknas. Pentingnya visi pemerintah membangun sistem yang mendukung terwujudnya lingkungan pembelajaran generasi baru alias Next Generation Learning Environment. Yaitu dengan cara pemanfaatan teknologi TIK terkini untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, administrasi, serta interaksi dan kolaborasi antara guru, siswa, orangtua, komunitas, dan sekolah yang lebih efektif dan murah.
Jika kita refleksikan dengan perkembangan TIK global dewasa ini, maka bisa digambarkan tiga kategori atau era sekolah.

Pertama, Sekolah Konvensional, dengan ciri sudah mulai memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) namun masih sederhana misalnya baru sebatas memanfaatkan aplikasi office (word processor, spreadsheet, presentation) untuk menggantikan mesin ketik manual di Laboratorium Komputer sekolah dan di bagian administrasi sekolah. Keadaan ini disebut pemanfaatan TI pada era Sekolah 1.0.

Kedua, Program Jardiknas dari Depdiknas mulai diperkenalkan. Sekolah mulai memasuki era pemanfaatan internet. Lalu program pembelian hak cipta buku yang dilanjutkan dengan penyediaan e-Book mendorong sekolah memasuki era baru yaitu kategori Sekolah 1.5. Pada era Sekolah 1.5. sekolah-sekolah mulai memasuki tahapan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara serentak. Namun potensi TIK tersebut juga belum dimanfatkan secara optimal. Yaitu masih sebatas sebagai alat bantu tulis-menulis pada bagian administrasi sekolah, mengajar office di Laboratorium Komputer dan mengunduh e-Book. Seharusnya TIK bisa dimanfaatkan lebih luas dari itu, yaitu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, administrasi, interaksi dan kolaborasi antara guru, siswa, orangtua, komunitas dan sekolah.

Ketiga, perkembangan internet telah mengarah ke teknologi Web 2.0 yang ditandai diantaranya berkembangnya sistem berbasis jejaring sosial (social networking). Juga diwarnai teknologi AJAX yang memungkinkan berjalannya aplikasi web seperti aplikasi desktop, berkembangnya teknologi multimedia baik audio dan video streaming, dan lain-lain. Sistem di sekolah yang memanfaatkan kemajuan internet diatas disebut Sistem Sekolah 2.0. Sistem tersebut dibangun untuk menunjang penyelenggara satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sesuai Standar Nasional Pendidikan. Sekolah 2.0 mengintegrasikan Portal Sekolah dengan Layanan Pembelajaran seperti e-Academic, e-LearningManagement, e-Authoring&Learning, e-Library, dan Layanan Administrasi Sekolah seperti e-Filling, e-Finance, e-Pegawai, e-Perlengkapan serta sistem untuk memantau kegiatan di sekolah secarakeseluruhan.
Signifikansi transformasi diknas dengan Sistem Sekolah 2.0 bisa meningkatkan kinerja guru secara progresif. Forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam menyusun materi ajar secara kolaboratif juga bisa terwujud dengan baik. Yang pada gilirannya forum itu bisa memperkuat arus World Wide Innovative Teacher yang mereformasi pendidikan secara cepat. Sistem Sekolah 2.0 juga mempermudah pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) di kelas. CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata. Serta mendorong siswa membuat keseimbangan antara pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi lebih bernilai tambah.

Dalam kelas yang berkarakter CTL, tugas guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan pendorong daya inovasi dan kreatifitas siswa.
Sistem Sekolah 2.0 juga bisa mereformasi Lembar Kerja Siswa (LKS) atau Buku Kerja Siswa (BKS) lebih adaptif dan komprehensif dengan perkembangan IPTEK.

Siswa bisa membuat LKS kedalam Blog siswa, dengan demikian materi dan tampilannya lebih sempurna. Hingga saat ini LKS masih jauh dari ideal, karena hanya berisi materi dan soal-soal. Selain itu ditinjau dari segi penyajiannya pun kurang menarik. Mestinya LKS bisa mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinal, dan rasa ingin tahu. Gambaran masa depan dengan Sekolah 2.0 salah satunya adalah penggunaan LKS yang diintegrasikan dengan Web 2.0 sebagai inovasi dalam dunia pendidikan.
Untuk mengambil manfaat potensi kemajuan di atas secara lebih luas, maka dirancang pengembangan sejumlah aplikasi yang mendukung. Yakni aplikasi yang menggabungkan sistem portal sekolah (e-SchoolPortal), sistem informasi layanan sekolah (e-SchoolService), sistem informasi administrasi sekolah (e-SchoolAdministration), Sistem Informasi Pemantauan Sekolah (e-SchoolMonitoring). E-SchoolPortal merupakan gerbang untuk memulai interaksi bagi seluruh pemangku kepentingan sekolah (guru, siswa, orangtua, komunitas, sekolah). Di dalam portal sekolah terdapat seluruh informasi sekolah maupun kelas, blog guru, blog siswa dan fasilitas untuk akses aplikasi sekolah lainnya. E-SchoolService mencakup sistem informasi operasional pembelajaran seperti sistem informasi akademik (e-Academic), sistem informasi perpustakaan (e-Library), sistem informasi manajemen pembelajaran (e-LearningManagement), dan sistem informasi untuk pengembangan materi ajar dan pengajaran (e-Authoring&Learning). E-SchoolAdministration mencakup sistem operasional administrasi seperti sistem informasi keuangan sekolah (e-finance), sistem informasi pengarsipan (e-filling), sistem informasi kepegawaian (e-pegawai) dan sistem informasi perlengkapan/aset (e-perlengkapan). E-SchoolMonitoring merupakan sistem informasi yang dapat digunakan untuk memonitor yang berkaitan dengan pembelajaran (akademik siswa,perpustakaan, arsip dan learning content) dan memonitor administrasi (perlengkapan, keuangan dan kepegawaian).
Dalam EFA Global Monitoring Report 2005, UNESCO menyatakan bahwa kualitas pendidikan salah satunya ditentukan oleh manajemen sekolah.

Oleh karena itu penerapan Sistem Sekolah 2.0 merupakan wahana untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, murah dan transparan. Keunggulan lain dari Sistem Sekolah 2.0 adalah tersedianya fasilitas e-authoring&learning berbasis Crayonpedia (sebuah fasilitas pengembangan materi ajar secara kolaboratif dan terbuka yang dapat diakses di www.crayonpedia.org) dimana guru, ataupun pihak pendidik lain dapat mengunggah (upload) ide dan hasil karyanya, yang berupa materi ajar, ke dalam fasilitas tersebut. Fasilitas ini memberi kesempatan dan kemudahan bagi para pendidik dan yang berminat terhadap pendidikan untuk berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan pendidikan. Dengan adanya fasilitas ini, semakin banyak materi dan informasi yang berkualitas tinggi yang dapat digali oleh para pelajar. Dan sebaliknya, para guru yang dulunya pasif menjadi proaktif dalam menyalurkan ide dan mengembangkan profesinya. Jika Sistem Sekolah 2.0 dijalankan secara serius akan semakin banyak lembaga pendidikan yang terdongkrak standarnya sehingga setara dengan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Penting untuk dicatat, bahwa selama ini betapa rumit dan mahalnya investasi yang dikeluarkan jika suatu sekolah ingin berstatus SBI dengan standard tertentu. Seperti halnya di dunia industri ada ISO, maka di dunia pendidikan ada International Baccalaureate (IB) dari IBO (International Baccalaureate Organization) yang berpusat di Genewa. Sistem Sekolah 2.0 sangat menjanjikan dalam menggapai standar internasional diatas.

Gender

MENGUAK KETERTINDASAN KAUM WANITA
Oleh Ramahadin Damanik
Sebelum kita jauh membahas tentang ketidak adilan gender, sebaiknya kita mengetahui definisi gender, dan mencoba mengkritisi realitas secara defenitif.
A. Definisi Gender
Gender adalah sifat yang melekat pada manusia dan dikonstruksi secara sosial, demikianlah definisi gender secara sederhana, dari definisi diatas banyak hal yang harus kita kritisi, diantaranya :
- Gender hanya meliputi wilayah sifat, akan tetapi mengapa isu atau wacana yang berkembang tentang gender pada saat ini cendrung kepada wanita kenapa bukan pria ?
- Dikonstruksi secara sosial, akan tetapi,mengapa permasalahan gender dikaitkan dengan agama, dengan dalih landasan normatif islam (Wahyu) dijadikan sebagai tameng bagi kaum pria?

A. REFLEKSI SEJARAH
Apabila kita melihat jauh kebelakang, semenjak diciptakan nya adam dan hawa, banyak pendapat yang mengatakan bahwa hawa merupakan factor mengapa adam diturunkan kebumi, dan hal ini sudah dikonsepsi oleh semua kalangan umat islam, dan hal ini umat islam dalam menginterpretasikannya secara normative sehingga terkonsumsi dan menjadi sebuah paradigma bahwa kaum hawa sumber petaka.
Dan hal ini juga sampai pra kedatangan Rasulullah kaum wanita benar – benar tertindas baik secara fisik maupun mental, banyaknya terjadi pemerkosaan dan pembunuhan terhadap kaum wanita, bahkan dalam paradigma bangsa arab pada saat itu wanita sumber petaka bagi suatu keluarga,maka jika ada bayi perempuan yang melahirkan maka secepatnya dikubur hidup – hidup.
Sehingga salah satu misi kedatangan nabi Muhammad pada saat itu adalah menyelamatkan hak- hak azasi wanita, maka wajar bangsa arab tidak senang akan kedatangan beliau, karena akan merusak tatanan budaya di daerah tersebut.
Realitas seperti masih tetap terjadi sampai sekarang, akan tetapi pada zaman globalisasi ini, penindasan kaum wanita semakin datang dari segala aspek kehidupan, karena pada era yang penuh dengan hal – hal yang bersifat materi ini, wanita tidak hanya mengalamipelecehan seksual dan korban kekerasan saja, malah wanita dijadikan sebagai bahan komiditi bagi kepentingan pasar, contoh konkret adalah kecantikan dan keindahan tubuh wanita dijualbelikan untuk melandingkan produk suatu perusahaan, kita lihat dari sekian banyak iklan yang ditayangkan lewat layer telivisi dan di media –media informasi baik pamphlet, baliho dan lain sebagainya kebanyakan foto kaum wanita yang berbusana serba minim dipampang dimana- mana, hal ini merupkan bukti konkret akan penindasan terhadap kaum wanita.
Tidak hanya itu, apabila kita memandang sejarah dan realitas sekarang, peran wanita dalam partisipasinya diwilayah parlemen sangat minim, di Indonesia sendiri, peran wanita dalam parlemen hanya 30 %, ini merupakan bukti bahwa wanita dikekang dan dipenjarakan oleh Negara, jadi dimana kesetaraan gender tersebut ? .
A. Faktor Pendiskriminasian Gender (Wanita)
Sebelumnya saya akan mengklarifikasi sub judul diatas, mengapa saya memberikan kata – kata setelah Gender ada kata Wanita, karena pada saat ini, kebanyakan orang apabila mendengar kata – kata gender maka telah terkonstruk dalam pemikirannya bahwa pembahasan masalah wanita. Yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa harus wanita ? padahal gender tidak memandang jenis kelamin, akan tetapi sifat yang ada pada manusia, dalam halini saya akan mencoba membaca akan pandangan tersebut, apabila kita analisis lebih dalam, bahwa munculnya isu atau wacana tentang gender dilatarbelakangi karena pendiskriminasian terhadap wanita. Sehingga wajar mengapa harus wanita, akan tetapi akar permaalahannya adalah mengapa wanita dijadikan sebagai objek dari pada kekerasan, serta diskrimanasi .
Antara wahyu( alqur’an), dan Budaya sangat berpengaruh besar terhadap mengkonstruksi pemikiran manusia, sehingga pemikiran manusia tersebut diejawantahkan menjadi sebuah kebudayaan, norma, adat, dan hukum, kemudian semua itu secara bertahap dan proses transformasi kepada manusia yang lain, maka semua itu menjadi suatu paradigma. Dan apabila proses menuju paradigma tersebut baik secara interpretasi (wahyu), dan kondisi budaya pada saat itu berjalan dengan baik dan saling mengisi kekosongan darikedua belah pihak, maka paradigma yang dibangun adalah paradigma yang cendrung positip, dan juga sebaliknya.
Dari sekian hal yang terkait diatas, saya bisa ambil kesimpulan bahwa factor dari diskrimanasi terhadap wanita adalah keserakahan kaum pria (adam), sehingga dalam proses pelampiasan keserakahan tersebut,kaum pria menggunakan agama dan budaya sebagai alat atau media untuk melandingkan keserakahan mereka.

KESIMPULAN
Dari realitas diatas, sudah jelas bahwa kaum wanita benar – benar di diskriminasikan, dan termarginalkan, sehingga semua itu telah dikonsepsi oleh para wanita danmenjadi sebuah paradigma, maka dalam hal ini , yang perlu dilakukan adalah merubah paradigma tersebut. Dengan paradigma yang merdeka, sehingga kaum wanita terbebskan dari penjara keserakahan kaum pria.
Selanjutnya proses yang harus dilakukan adalah bagaimana mentransformasikan akan wacana gender sebagai upaya dekonstruksi paradigma sebelumnya, dan mencoba me rekonstruksi paradigma tersebutmenjadi pradigma yang merdeka. Hidup wanita……. Hidup kaum hawa…….

Sejarah Pendidikan Islam

Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Oleh : Ramahadin Damanik
PENDIDIKAN DIMASA BELANDA
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata[1]. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
(1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.




PENDIDIKAN MASA JEPANG
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Terima kasih

INILAH SEDIKIT KONDISI PENDIDIKAN INDONESIA SAAT INI.

INILAH KONDISI PENDIDIKAN INDONESIA SAAT INI.
Hasil Renungan ; Ramahadin Damanik
( Wates, 12 Juli 2009. Pukul 23.15 – 23 . 53 WIB)

Harus kita akui bahwa “ Pendidikan adalah tonggak peradaban”, suatu bangsa akan memiliki derajat dan martabat jika pendidikan di bangsa tersebut berkualitas, maka benarlah apa yang tertulis dalam Al Qur’an bahwa “ Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu” dan di pertegas lagi dengan hadist nabi “ Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat” memang secara eksplisit tidak disebutkan bahwa pendidikan adalah tonggak peradaban, akan tetapi sangatlah jelas bahwa Agama sangat menganjurkan umatnya untuk menuntut Ilmu, sehingga sangatlah bijak para founding father bangsa ini mengamanatkan untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang tersirat dalam UUD 1945.
Jika kita lihat fakta pendidikan saat ini, sangat memprihatinkan, baik dari sisi software maupun hardwarenya. Jika dilihat dari kebijakan politik pemerintah terkait dengan pendidikan sangatlah miris kita melihatnya, yakni dengan UU BHP, yang mana asal muasal BHP berangkat dari UU NO 77 tahun 2005 tentang Badan Usaha terbuka dan tertutup, di dalam UU tersebut jelas sekali bahwa Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi serta pendidikan non/in formal termasuk dalam Badan Usaha Terbuka yang memperkenankan para investor untuk menanamkan modalnya maksimal 45 %. Artinya apa ? para investor asing akan dengan bebasnya menanamkan modal untuk penyelenggaraan pendidikan, tentunya ini memiliki dampak positif dan negatif, adapun dampak positip nya adalah : Institusi pendidikan akan berpacu untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga akan muncullah sekolah berstandar Internasional, dan perguruan tinggi akan menjadi World Class University. Akan tetapi dampak negatifnya adalah : Semakin mahalnya biaya pendidikan, karena Penyelenggaran pendidikan tidak lagi murni untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan, melainkan menjadi suatu komoditas, al hasil kesempatan menikmati dan mendapatkan layanan pendidikan akan semakin sempit, karena yang memperolehnya hanyalah segelintir orang yang memiliki modal dan kecerdasan, sehingga rakyat yang tidak memiliki modal dan keterbatasan kemampuan akan tersingkirkan dengan sendirinya, iniliah yang disebut dengan Pembodohan yang tersistem, dan akan mengarah kepada Kemiskinan tersistem.
Jika kita lihat fakta lainnya ialah dari segi kurikulum, kurikulum pendidikan sangatlah jauh dari harapan untuk membangun karakter kebangsaan, akan tetapi lebih kepada membentuk karakter pekerja. Contoh kasus, Mata pelajaran sejarah, Geografi, dan Agama tidak menjadi prioritas dalam pembelajaran, karena di kalahkan oleh Matematika dan Bahasa Inggris, artinya bahwa Mata pelajaran Sejarah dan geografi merupakan mata pelajaran yang akan membentuk karakter kebangsaan para peserta didik, dan mata pelejaran Agama akan membentuk moralitas peserta didik, akan tetapi mata pelajaran tersebut diabaikan. Kemudian bagaimana akan terbentuk karakter bangsa itu, maka wajar saja para peserta didik saat ini, lebih banyak menghapal lagu – lagu pop dari pada lagu kebangsaan, dan tidak mengenal geografis bangsa nya sendiri. Dan yang lebih fatal lagi adalah sering terjadi tawuran antar pelajar dan perbuatan seks bebas dikalangan pelajar.
Dan jika dilihat dari sarana dan prasarana, setidaknya film Denias yang menceritakan pendidikan di Papua, dan Laskar Pelangi di Pulau Belitung merupakan representasi kondisi pendidikan di Nusantara, betapa hancurnya sistem pendidikan ini, sehingga masih banyak generasi bangsa tidak mendapatkan kenyamanan dalam menjalani proses pendidikan.
Selanjutnya adalah tenaga pendidik, memang akhir – akhir ini, kesejahteraan pendidik sedikit mulai terjamin, dengan program sertifikasi para pendidik mulai mendapatkan kesejahteraan, akan tetapi yang terpenting adalah peningkatan kualitas pendidik, yaitu dengan meningkatkan kompetensinya sebagai pendidik, maka oleh karena itu, suatu keniscayaan bagi pemerintah untuk tetap memfasilitasi para pendidik untuk selalu meningkatkan kompetensi pendidik, baik itu kompetensi Pedagogik, Kompetensi Profesional, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Kepribadian. Karena ditangan merekalah generasi bangsa akan lahir.
Demikian sedikit keresahan penulis tentang kondisi pendidikan saat ini di Indonesia, dan kami hanya berpesan “Masa Depan Bangsa ini ada ditangan Pendidikan saat ini, maka jika kita bermimpi masa depan bangsa yang lebih baik, maka saatnya Pendidikan diperbaiki menuju yang lebih baik. Thanks.

Penulis Adalah Kader HMI Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pernah menjadi Sekertaris Umum Komisariat Fakultas Tarbiyah Periode 2007 – 2008, dan Menjabat Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Tarbiyah Periode 2008 – 2009. dan Sekarang sedang menjalani PPL – KKN Integratif di MTs Negeri Wates.
Kulon Progo.Yogyakarta

Kamis, 09 Juli 2009

REFLEKSI PENDIDIKAN

IMPLIKASI NEOLIBERALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
By : Ramahadin Damanik
(Kader HMI Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Sebelum kita berbicara tentang Implikasi Neoliberalisme dalam dunia pendidikan, sedikit akan dipaparkan beberapa perbedaan antara Neoliberalisme dan Liberalisme, dengan tujuan ingin mengkhabarkan bahwa betapa kejamnya Neoliberalisme.
Neoliberalisme merupakan sebuah paham yang lahir setelah Liberalisme, Neoliberalisme berbeda dengan liberalisme, ada bebarapa hal yang membedakan antara liberalisme dengan Neoliberalisme , diantaranya :
1. liberalisme yang mengharuskan mekanisme pasar dipakai untuk mengatur sebuah ekonomi negara, dalam neoliberalisme mekanisme pasar juga digunakan untuk mengatur ekonomi global.
2. Berbeda dengan liberalisme klasik yang menuntut pemerintah untuk menghormati kinerja pasar sebagai salah satu cara untuk mencapai kemakmuran ekonomi nasional/bersama, neoliberalisme justeru menjadikan kinerja pasar untuk memakmurkan individu (individual wealth). Kemakmuran bersama (common wealth) dianggap hanyalah efek samping dari kemakmuran individu.
3. Berbeda dengan paham liberalisme yang menganggap otoritas regulatif negara tetap diperlukan meskipun mekanisme pasar menjadi acuan dasar, dalam neoloberalisme justeru menekankan pelimpahan otoritas regulatif dari negara ke individu, atau dari social welfare ke selfcare.
Setidaknya ada tiga hal yang membedakan antara liberalisme dengan neoliberalisme, dari ketiga perbedaan tersebut, sangatlah jelas bahwa Neoliberalisme merupakan monster yang akan menghancurkan kehidupan social, dan sangat lah terbuka kemungkinan terjadinya hokum rimba, yang memiliki modal lah yang akan menang, dan yang lemah akan selalu kalah.
Jika kita berbicara tentang Implikasi Neoliberalisme terhadap dunia pendidikan sangatlah luas, akan tetapi jika kita pahami semua bahwa lebih terkait dengan kesempatan (Chance). Kesempatan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Salah satu implikasi Neoliberalisme terhadap pendidikan adalah Ideologi Kompetisi, yaitu dengan menjadikan ideology kompetisi sebagai basis pendidikan, sebagaimana ia dijadikan sebagai basis dalam pasar, oleh karena itu, saat ini Pendidikan tidak ada bedanya dengan pasar.
Dalam ideology kompetisi ada beberapa karakteristik yang mendasarinya, diantaranya adalah ;
1. Kompetisi aan menghasilkan pemenang dan pecundang. 2.Ideologi kompetisi tidak peduli dengan nasib orang-orang yang kalah. Akibatnya, pendidikan tidak akan peduli dengan pertanyaan: Akan dikemanakan orang-orang yang punya keterbatasan intelektual, tidak mampu, dan miskin? 3 Ideologi kompetisi tidak pernah mempertanyakan secara kritis: Mengapa mereka kalah? Apakah memang karena mereka tidak mampu ataukah karena ada faktor lain yang membuat mereka tidak bisa bersaing?
Ada beberapa dampak yang akan diakibatkan dari Ideologi kompetisi, yaitu :
1. Pendidikan hanya didisain untuk kepentingan para pemenang, yaitu mereka yang cerdas, pandai, dan kuat modal ekonomi dan modal sosial. Pendidikan tidak didisain untuk kepentingan orang-orang miskin, tidak mampu, kurang pintar, dan memiliki keterbatasan modal ekonomi dan sosial. Ideologi kompetisi hanya menjustifikasi privilidge orang-orang yang sudah kuat secara intelektual, ekonomi, dan sosial.
2. Pendidikan hanya berfungsi sebagai media reproduksi sistem sosial, sebagaimana yang disinyalir oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976) dan Pierre Bourdieu (1990). Pendidikan tidak dijadikan sebagai media bagi orang-orang yang miskin dan tidak pandai untuk bisa mentransendensi posisi kelas sosial mereka ketika dewasa.
Dari beberapa narasi yang kami sampaikan diatas, jika kita kontekskan dengan kondisi pendidikan saat ini, sangat tidak jauh berbeda, bahkan persis sama, ada beberapa fakta yang kita lihat saat ini dalam pendidikan di Indonesia, dan ini semua sangat menggambarkan betapa Neoliberalistiknya pendidikan di Indonesia. Dan semua itu di lakoni oleh para pengambil kebijakan sampai pelaksana kebijakan, yaitu lembaga pendidikan. Fakta tersebut adalah :
a. Standarisasi kelulusan, dengan diterapkan Ujian Nasional yang mengharuskan peserta didik untuk mendapatkan nilai sekian dalam mata pelajaran tertentu sebagai syarat kelulusan, dari sini kita bisa melihat bahwa, tingkat kecerdasan manusia di ukur oleh angka bukan sikap dan perilaku. Hal ini terjadi karena, adanya kompetisi secara global yang bertujuan untuk mendapatkan PENGAKUAN secara internasional bahwa kualitas pendidikan di Negara X tinggi. Sehingga yang menjadi korban adalah para peserta didik, yang memaksakan diri sendiri. Sehingga wajar saja, sering terjadi peserta didik yang bunuh diri atau stress ketika akan atau setelah melaksanakan Ujian Nasional. Dan yang lebih miris lagi adalah, tersingkirkannya mata pelajaran yang sebenarnya akan membentuk Moralitas dan Nasionalisme anak bangsa, seperti mata pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Sejarah, dan Geografi. Padahal mata pelajaran inilah yang nantinya akan membentuk karakter anak bangsa. Dalam faktanya mata pelajaran ini tidak lagi menjadi prioritas, bahkan termarginalkan.
b. Munculnya Istilah Ranking atau Peringkat, jika kita lihat sepintas memang Pengistilahan ini memiliki dampak positip yaitu untuk memberikan motivasi kepada peserta didik, akan tetapi jika kita telusuri lebih mendalam bahwa telah terjadinya proses yang tidak mendidik, karena dengan cara yang seperti ini akan mengkonstruk pola pikir peserta didik menjadi pola pikir yang kompetisi. Sehingga prinsip gotong royong yang itu ada dalam dasar negara kita “PANCASILA” akan terabaikan. Dan akhirnya nanti akan melahirkan anak bangsa yang memiliki jiwa sosial yang rendah bahkan sama sekali tidak ada. Dan dampak negatif dari sini adalah peserta didik yang memiliki kemampuan Intelektual terbatas akan tereliminasi dengan sendirinya.
c. Penerimaan Peserta didik baru , Dalam konteks ini, ideologi kompetisi itu sangatlah terasa, diferensiasi antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya sangatlah mencolok, karena dalam seleksi peserta didik baru yang terjadi adalah standar nilai yang ia peroleh pada waktu Ujian Nasional. Dengan standart tertentu. Semakin tinggi nilai yang ia miliki maka ia akan mendapatkan kesempatan belajar di sekolah yang memiliki kualitas baik, dan begitu juga sebaliknya. Dan akibatnya adalah peserta didik yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi sajalah yang akan semakin cerdas dan yang lemah akan selau berada dalam posisi yang bawah. Sungguh irtonis.

Dari ketiga implikasi diatas, kami menyimpulakan bahwa “TELAH TERJADI PEMBODOHAN YANG TERSISTEM” maka dari itu, semoga dalam PERIODE KEPEMIMPIAN 2009 – 2014 ini, mampu menjadikan “PENDIDIKAN YANG MEMILIKI KUALITAS MORAL, SPRITUAL, INTELEKTUAL, DAN SOSIAL DAN DAPAT DI DAPATKAN DAN RASAKAN OLEH SEGENAP LAPISAN MASYARAKAT DEMI INDONESIA YANG LEBIH BAIK” . Thanks.



Selasa, 07 Juli 2009

Arah Kebijakan HMI Komisariat Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2009 - 2010 M

QUALITY MOVEMENT; Menuju Kedaulatan “HMI”

Dasar Pemikiran
Harapan terus bergulir seiring perubahan zaman yang penuh dengan segala dinamika. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kata optimistis dari para orang bijak. Pada akhirnya fakta bicara, tidak hanya dalam lukisan Roman tapi juga realitas saat ini yaitu Stagnasi, telah menjadi salah satu titisan terpahit dalam sejarah dinasti manapun dan menjadi awal yang manis bagi sebuah pembaruan baru. Masih dalam satu fakta, seluruh gerakan mahasiswa tenggelam dalam aksioma yang seakan baru pasca reformasi merupakan bukti fenomena yang tak kunjung menemukan formulasi secara tepat dalam menjalankan sekian tuntutan zaman (stagnan),. Demikian juga HMI pada umumnya lebih khusus komisariat fakultas tarbiyah.
Banyak alibi muncul termasuk tidak adanya comment anemy sebagai alasan tenggelamnya aktifitas gerakan. Padahal kita tahu, kemampuan diri memaksimalkan potensi gerak dalam mengisi dan memaknai proses merupakan problem mendasar (raja`naa minjihaadil asghar ilaa jihaadil akbar, a`nii jihadin nafs). Sehingga wajar jika kita coba mengeja kembali sejarah. Sejarah merupakan referensi mumpuni untuk kita refleksikan. dimana bangsa ini berdiri karena kualitas pemudanya dengan segala latar belakang yang membentuk dan mempengaruhinya mampu melihat tantangan menjadi peluang karena mereka tahu, tidak hanya kondisi bangsa saja. tapi lebih dari itu, mereka mengetahui integritas dirinya.
HMI dengan spirit membara yakni; syiar Islam dan mempertahankan NKRI merupakan jawaban obyektif dalam melihat relitas pada saat itu. HMI tetap terus mewarnai perkembangan zaman di segala bidang kehidupan bangsa adalah manifestasi mimpi yang teraktualkan oleh generasi para funding father kita, tentunya dengan sekian gagasan cerdas telah memberi kontribusi positif terhadap sosio-kemasayarakatan berbangsa dan bertanah air dalam tiga orde berbeda.
Oleh karena itu, gambaran diatas tidak sekedar narasi diskriptif semata, Namun ada substansi bahwa perubahan harus diawali dengan sebuah integritas (diri, komonitas dan umat). Dan HMI komisariat tarbiyah dalam RAK ke-47 mencoba menjawab problem di atas dengan sebuah gagasan “Quality Movement menuju kedaulatan HMI” sebagai sebuah keyakinan akan merubah daya perjuangan yang lebih masif karena didasarkan pada sebuah kesadaran gerak personal yang melebur menjadi gerak kolektif.

Quality Movement (Gerakan Mutu)
Secara etimologi, kata tersebut terdiri dari dua kata yaitu “quality” yang berarti kualitas atau mutu dan “movement” yang berarti proses merubah atau gerakan. Sehingga “Quality Movement “dapat diartikan gerakan mutu. Gerakan mutu ini jelas membutuhkan internalisasi yang mengindikasikan adanya objektifikasi-objektifikas
i sehingga mendapatkan konsep yang mampu dimaterialkan secara kongkrit karena didalamnya meniscayakan adanya penyadaran dan kesadaran eksistensi dan esensi sekaligus. Sehingga apa yang menjadi persoalan mendasar HMI dapat terbebas dari penyakit-penyakit lama yang terasa telah jadi hal yang biasa dalam persoalan berorganisasi. Seperti militansi, loyalitas, komitmen, kebersamaan, keterbatasan komonikasi dan seterusnya tidak menjadi alasan pada setiap mikanisme organisasi dengan khiasan linguistik yang berbeda namun dengan substansi yang sama, Pun demikian dengan problem-problem lainnya mampu diminimalisir bahkan dituntaskan.
Sepintas akan nampak adanya bias dalam gerakan mutu dalam gagasan ini. namun perlu diketahui bahwa maksud dari mutu itu sendiri adalah kecerdasan kalbu sebagai orientasi ideal. Disitu, mengisaratkan terpadunya empat kecerdasan manusia; kecerdasan intelektual, emosional, spritual dan moral sekaligus. Inilah nilai dalam salah satu sifat nabi yang perlu dan penting untuk ditumbuh-kembangkan yaitu: Fathonah. Dengan kata lain mutu yang dimaksud disini adalah fathonah

Kedaulatan HMI
Quality Movement (Gerakan mutu) tersebut dengan sendirinya secara kesinambungan akan menciptakan Quality Culture (Budaya mutu) sebagai bentuk eksternalisasi dari asimilasi gerakan yang terejawantahkan. Sehingga disadari atau tidak, akan memberikan warna positif bagi HMI secara keseluruhan yang telah ambigu terhadap peran, fungsi dan independensinya sebagai organisasi kader. Dan itu kita mulai dari entitas kecil yaitu HMI kom. Fak. Tarbiyah.
Sedangkan Quality Culture akan membentuk situasi dan tradisi atau budaya mutu menuju Kedaulatan “HMI”. Kadaulatan Bukan hanya dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi institusi dari institusi yang lain, tapi ada hal fundamental yang digaris bawahi yaitu; HMI sebagai konsep sistem, mampu disadari dan diikuti serta memiliki kharisma yang terpancar dari sosok kader HMI.
Kedaulatan HMI ini juga sebagai suatu kerangka utuh kita ber-HMI karena untuk menuju pada titik tersebut harus melalui penjiwaan terhadap HMI pada masing-masing kader. sehingga mendapatkan kedewasaan dan semangat organik dalam merealisasikan shared goal, tidak hanya sebuah bangunan substansi yang terstruktur melainkan juga adalah sebagai upaya maksimalisasi potensi untuk meraihnya. Pada akhirnya, kedaulatan HMI menjadi citra yang betul-betul dirasa oleh kadernya bahkan diluar kadernya dan mejawaban persoalan yang ada termasuk stagnasi.
Dengan gagasan besar ini HMI kom. Fak tarbiyah denga segenap potensinya akan menjadi barometer gerakan karena komunitas ini memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal besar hingga masa depan memaksa menggoreskan tintanya pada cover depan, Inilah HMI Tarbiyah
Ingat dipundak kita, Dengan sebuah kesadaran dan keikhlasan citra HMI ditancapkan … Mari kita beri makna lebih terang karena didepan banyak jemu dan semu, Bahagia HMI…..!