Kamis, 09 Juli 2009

REFLEKSI PENDIDIKAN

IMPLIKASI NEOLIBERALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
By : Ramahadin Damanik
(Kader HMI Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Sebelum kita berbicara tentang Implikasi Neoliberalisme dalam dunia pendidikan, sedikit akan dipaparkan beberapa perbedaan antara Neoliberalisme dan Liberalisme, dengan tujuan ingin mengkhabarkan bahwa betapa kejamnya Neoliberalisme.
Neoliberalisme merupakan sebuah paham yang lahir setelah Liberalisme, Neoliberalisme berbeda dengan liberalisme, ada bebarapa hal yang membedakan antara liberalisme dengan Neoliberalisme , diantaranya :
1. liberalisme yang mengharuskan mekanisme pasar dipakai untuk mengatur sebuah ekonomi negara, dalam neoliberalisme mekanisme pasar juga digunakan untuk mengatur ekonomi global.
2. Berbeda dengan liberalisme klasik yang menuntut pemerintah untuk menghormati kinerja pasar sebagai salah satu cara untuk mencapai kemakmuran ekonomi nasional/bersama, neoliberalisme justeru menjadikan kinerja pasar untuk memakmurkan individu (individual wealth). Kemakmuran bersama (common wealth) dianggap hanyalah efek samping dari kemakmuran individu.
3. Berbeda dengan paham liberalisme yang menganggap otoritas regulatif negara tetap diperlukan meskipun mekanisme pasar menjadi acuan dasar, dalam neoloberalisme justeru menekankan pelimpahan otoritas regulatif dari negara ke individu, atau dari social welfare ke selfcare.
Setidaknya ada tiga hal yang membedakan antara liberalisme dengan neoliberalisme, dari ketiga perbedaan tersebut, sangatlah jelas bahwa Neoliberalisme merupakan monster yang akan menghancurkan kehidupan social, dan sangat lah terbuka kemungkinan terjadinya hokum rimba, yang memiliki modal lah yang akan menang, dan yang lemah akan selalu kalah.
Jika kita berbicara tentang Implikasi Neoliberalisme terhadap dunia pendidikan sangatlah luas, akan tetapi jika kita pahami semua bahwa lebih terkait dengan kesempatan (Chance). Kesempatan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Salah satu implikasi Neoliberalisme terhadap pendidikan adalah Ideologi Kompetisi, yaitu dengan menjadikan ideology kompetisi sebagai basis pendidikan, sebagaimana ia dijadikan sebagai basis dalam pasar, oleh karena itu, saat ini Pendidikan tidak ada bedanya dengan pasar.
Dalam ideology kompetisi ada beberapa karakteristik yang mendasarinya, diantaranya adalah ;
1. Kompetisi aan menghasilkan pemenang dan pecundang. 2.Ideologi kompetisi tidak peduli dengan nasib orang-orang yang kalah. Akibatnya, pendidikan tidak akan peduli dengan pertanyaan: Akan dikemanakan orang-orang yang punya keterbatasan intelektual, tidak mampu, dan miskin? 3 Ideologi kompetisi tidak pernah mempertanyakan secara kritis: Mengapa mereka kalah? Apakah memang karena mereka tidak mampu ataukah karena ada faktor lain yang membuat mereka tidak bisa bersaing?
Ada beberapa dampak yang akan diakibatkan dari Ideologi kompetisi, yaitu :
1. Pendidikan hanya didisain untuk kepentingan para pemenang, yaitu mereka yang cerdas, pandai, dan kuat modal ekonomi dan modal sosial. Pendidikan tidak didisain untuk kepentingan orang-orang miskin, tidak mampu, kurang pintar, dan memiliki keterbatasan modal ekonomi dan sosial. Ideologi kompetisi hanya menjustifikasi privilidge orang-orang yang sudah kuat secara intelektual, ekonomi, dan sosial.
2. Pendidikan hanya berfungsi sebagai media reproduksi sistem sosial, sebagaimana yang disinyalir oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976) dan Pierre Bourdieu (1990). Pendidikan tidak dijadikan sebagai media bagi orang-orang yang miskin dan tidak pandai untuk bisa mentransendensi posisi kelas sosial mereka ketika dewasa.
Dari beberapa narasi yang kami sampaikan diatas, jika kita kontekskan dengan kondisi pendidikan saat ini, sangat tidak jauh berbeda, bahkan persis sama, ada beberapa fakta yang kita lihat saat ini dalam pendidikan di Indonesia, dan ini semua sangat menggambarkan betapa Neoliberalistiknya pendidikan di Indonesia. Dan semua itu di lakoni oleh para pengambil kebijakan sampai pelaksana kebijakan, yaitu lembaga pendidikan. Fakta tersebut adalah :
a. Standarisasi kelulusan, dengan diterapkan Ujian Nasional yang mengharuskan peserta didik untuk mendapatkan nilai sekian dalam mata pelajaran tertentu sebagai syarat kelulusan, dari sini kita bisa melihat bahwa, tingkat kecerdasan manusia di ukur oleh angka bukan sikap dan perilaku. Hal ini terjadi karena, adanya kompetisi secara global yang bertujuan untuk mendapatkan PENGAKUAN secara internasional bahwa kualitas pendidikan di Negara X tinggi. Sehingga yang menjadi korban adalah para peserta didik, yang memaksakan diri sendiri. Sehingga wajar saja, sering terjadi peserta didik yang bunuh diri atau stress ketika akan atau setelah melaksanakan Ujian Nasional. Dan yang lebih miris lagi adalah, tersingkirkannya mata pelajaran yang sebenarnya akan membentuk Moralitas dan Nasionalisme anak bangsa, seperti mata pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Sejarah, dan Geografi. Padahal mata pelajaran inilah yang nantinya akan membentuk karakter anak bangsa. Dalam faktanya mata pelajaran ini tidak lagi menjadi prioritas, bahkan termarginalkan.
b. Munculnya Istilah Ranking atau Peringkat, jika kita lihat sepintas memang Pengistilahan ini memiliki dampak positip yaitu untuk memberikan motivasi kepada peserta didik, akan tetapi jika kita telusuri lebih mendalam bahwa telah terjadinya proses yang tidak mendidik, karena dengan cara yang seperti ini akan mengkonstruk pola pikir peserta didik menjadi pola pikir yang kompetisi. Sehingga prinsip gotong royong yang itu ada dalam dasar negara kita “PANCASILA” akan terabaikan. Dan akhirnya nanti akan melahirkan anak bangsa yang memiliki jiwa sosial yang rendah bahkan sama sekali tidak ada. Dan dampak negatif dari sini adalah peserta didik yang memiliki kemampuan Intelektual terbatas akan tereliminasi dengan sendirinya.
c. Penerimaan Peserta didik baru , Dalam konteks ini, ideologi kompetisi itu sangatlah terasa, diferensiasi antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya sangatlah mencolok, karena dalam seleksi peserta didik baru yang terjadi adalah standar nilai yang ia peroleh pada waktu Ujian Nasional. Dengan standart tertentu. Semakin tinggi nilai yang ia miliki maka ia akan mendapatkan kesempatan belajar di sekolah yang memiliki kualitas baik, dan begitu juga sebaliknya. Dan akibatnya adalah peserta didik yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi sajalah yang akan semakin cerdas dan yang lemah akan selau berada dalam posisi yang bawah. Sungguh irtonis.

Dari ketiga implikasi diatas, kami menyimpulakan bahwa “TELAH TERJADI PEMBODOHAN YANG TERSISTEM” maka dari itu, semoga dalam PERIODE KEPEMIMPIAN 2009 – 2014 ini, mampu menjadikan “PENDIDIKAN YANG MEMILIKI KUALITAS MORAL, SPRITUAL, INTELEKTUAL, DAN SOSIAL DAN DAPAT DI DAPATKAN DAN RASAKAN OLEH SEGENAP LAPISAN MASYARAKAT DEMI INDONESIA YANG LEBIH BAIK” . Thanks.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar